Tanggapan atas tulisan Rahmad Agus Koto dan Zen Muttaqin
Setelah tiga hari mengasingkan diri di puncak
bukit, hari ini saya kembali menelusuri tulisan-tulisan di Kompasiana, membaca
tulisan-tulisan dari para guru yang hadir memberikan pencerahan dengan gayanya
berbeda. Sekali lagi tulisan tentang Jokowi- Ahok sangat menarik untuk
ditelusuri, dipahami. Dua artikel tentang Gebrakan Jokowi-Ahok dari Rahmad
Agus Koto dan Zen Muttaqin sangat
menarik bagi saya untuk mengulasanya.
Sepakat
dengan Zen Muttaqin
Rasa antusiasme warga Jakarta atas peranyaan PRJ
di Monas secara tersirat telah menunjukan sebuah proses perjalanan rohani warga
Jakarta dalam menemuan sumber mata air kehidupan. Mata air kehidupan adalah
gambaran dari nilai-nilai kemanusiaan yang telah hilang, pudar. Nilai-nilai
yang telah lama terkubur di kedalaman galian-galian fondasi bangunan dan lupa
dipahat kembali di dinding waktu, di setiap sudut jalan kehidupan ibu kota.
Kata antusiasme, secara etomologis merefleksikan
proses kerohanian ini, spiritualitas ini. Dari kata Yunani, antusiasme terdiri
dari dua kata an dan Theos. An, di dalam dan Theos : Tuhan. Artinya di Dalam
Tuhan. Apapun yang dilakukan di dalam Tuhan akan berbuah. Apapun yang dilakukan
dengan dasar Ibadah merupakan proses penterjemahan panggilan untuk berkarya
menyempurnakan karya Ciptaan Tuhan. Orang bersukacita, bergemibira karna Ia ada
dalam naungan Kasih. Orang bersemangat karna Ia dituntun oleh Cinta Ilahi.
Karna Cinta maka orang bisa berbela rasa, orang bisa memahami jeritan jiwa yang
berduka, orang dapat merangkai kata dan membahasakan harapan yang tak terucap.
Jokow Ahok, memahami Cinta yang Antheos dan
mereka telah menghayati Cinta yang membebaskan. Mereka telah mampu melewati
tapal batas birokrasi, tapal batas keegoan suku, golongan, agama dan partai.
Mereka dalam spiriti blusukan ala Jokowi dan ketegasan menyediakan dapur yang
sehat ala Ahok sebenarnya sedang menterjemahkan dan membagikan roti-roti iman
yang universal yang mereka hayati agar semua orang , warga Jakarta pun dapat
merasakan kegairahan, sukacita meskipun mungkin sebagian masih menerima
remah-remah dari hidangan ini.
Kecerdasan
Emosional
Sebuah proses adalah perjalalan, butuh waktu,
cara dan media serta kepekaan menggunakan media dalam menyampaikan pesan
perubahaan itu. Kecerdasan emosional adalah buah dari Spirtualitas. Tidak bisa
dilepaspisahkan. Orang yang tingkatan spiritualitasnya tinggi mampu memahami
perbedaan, mampu mendengar jeritan-jeritan, mampu melihat yang terselubung. Dan
mereka dengan peka memaikan peran sebagai Penatalayan- penat dan pelayan.
Jokowi Ahok hadir sebagai penatalayan Jakarta,
menata meja perjamuan dan melayani rakyatnya. Ini hanya bisa dilakukan oleh
pemimpin yang berspirtualitas universal bukan pemimpin spiritualitas radikal
dan mengabaikan semangat pluralism.
Proses
Transformasi.
Melalui gerakan spiritualitas sebagai
penatalayan, Jokowi Ahok membangkitkan semangat dalam diri warga Jakarta untuk
belajar saling melayani melalaui gerakan-gerakan, program-program menata kehidupan di segala segi. Perubahan itu
terjadi karna Ia pemimpin telah ada di depan menunjukan jalan, , jalan menuju
sumber mata air kehidupan yang selama ini tertutup oleh pemimpin yang bermental
picik serta mengabaikan semangat pluralism.
Melalu gerakan menggugan emosi warga Jakarta untuk
mencintai Jakarta, melalui kepekaan akan rasa yang hilang, Jokowi Ahok mengajak
warga Jakarta untuk melangkah lebih jauh, bukan sekedar pada ungkapan emosional
atas kembalinya apa yang hilang tetapi sebagai sebuah langkah awal menuju
perubahan yang bertransformatif di mana semangat Spiritualitas pembangunan
adalah Pluralisme, kemanusiaan, berbasis Budaya dan kepekaan untuk terus
melayani dalam CINTA.
Salam
Uran oncu, penyair Jalanan, anak petani pengagum
Pluralisme dan Soekarno
No comments:
Post a Comment