Wednesday 5 June 2013

PENDIDIKAN NTT, ABAIKAN KURIKULUM NASIONAL KUATKAN MUATAN LOKAL

Harian Kompas menurunkan berita yang sangat menyentak nuraniku  dengan judul "

Di NTT, 1.992 Siswa Tidak Lulus UN (Kompas, 02 Juni 2013).


dan hari ini aku mendapat sebuah artikel berjudul "Asnat Bell, guru Honorer NTT, 10 Tahun mengabdi , hanya bergaji 50 ribu/bulan".

Dua artikel ini mewakili sekian artikel yang menyuarahkan tentang keprihatinan atas wajah pendidikan khususnya di Wilayah NTT. Stigma NTT yang miskin menegaskan bahwa dunia pendidikan pun "miskin". Memahami realita ini saya mencoba mengulasnya dalam dua sudut padang sebagai orang NTT.

NTT BUKAN MISKIN

NTT, bumi Flobamora menyediakan potensi yang sangat beragam, namun warga NTT masih gagap dalam mengelola dan menyajikannya sebagai sebuah modal untuk pembangunan. Kegagapan ini karna minimnya pengalaman dan pendidikan yang berorientasi pada pengenalan tentang Budaya Nasional, budaya daerah lain sedangkan budaya di kampung sendiri terlupakan.

Tahun 80-an saat penulis masih di bangku SD dan SMP, para siswa baik SD maupun SMP diwajibkan menghafal tentang budaya-budaya di luar NTT, menghafal tentang Susunan Kabinet, menghafal tentang butir -butir Pancasila, menghafal peta buta, di mana letak penambangan batubara. Dan hasil hafalan ini dilombakan setiap tahun melalui lomba mata pelajaran antar SD sampai tingkat Kabupaten.

Usia SD saat itu, penulis dan sekian banyak putra-putri NTT tidak terlalu memahami tentang dampak dari model pendidikan seperti ini. Satu hal yang sangat lucu, anak-anak NTT disuruh menghafal tentang budaya Jawa, Sumatera, mengenal wilayah lain di luar NTT sedangkan warga Sumatera, Jawa tidak tahu di mana letak NTT. Ada yang bertanya, NTT itu dekat Papua, atau di mana. dan saya jawab NTT itu dekat dengan Australia. Di lain kesempatan saya jawab NTT itu dekat surga. (dari pada beri jawabn yang benar lebih baik buat mereka penasaran, heheheheh)

Terlepas dari muatan kurikulum saat itu, penulis sangat bersyukur karna para pendidik di SD dan SMP terus menekankan tentang pentingnya para siswa mencintai pekerjaan (saya lebih suka disebut Profesi) sebagai Petani, Nelayan atau peternak. Ini design dengan jelas dalam kegiatan ekstrakurikuler di mana setiap SD dan SMP memiliki kebun sekolah. Melalui kegiatan bercocok tanam, menangkap ikan, beternak, kami dibekali tentang makna hidup yakni " Bekerja".

Design kegiatan ekstrakurikuler yang diterjemahkan oleh SD, SMP di NTT bagi penulis merupakan sarana yang sangat efektif dalam menumbuhkan semangat mencintai  warisan budaya. Namun design kegiatan ekstrakurikuler ini (saat ini disebut muatan lokal) belum dirancang secara sistimatis, terintegrasi, berkolaborasi dengan pihak-pihak lain apalagi sampai pada tahapan penerapan teknologi tepat guna.

Para pendidik di NTT bagi penulis menyadari akan kekurangan dari muatan kurikulum  yang tidak berpihak pada potensi lokal. Akibatnya, proses pengajaran di sekolah hanya menekankan untuk mendapatkan nilai yang baik dan lulus ujian akhir. Para pendidik tidak memiliki daya tawar yang kuat untuk menyuarahkan ketimpangan ini karna keterbatasan akses informasi dan transportasi. Yang hanya bisa mereka lakukan adalah mengajar dalam Totalitas, sungguh-sungguh mengajar sebagaiman peran yang dimainkan oleh Ibu Asnat Bell.

Totalitas pemberian diri dalam pengabdian bukan merupakan  wajah kemiskinan tetapi ini menegaskan tentang "Kekayaan Spiritual Kemanusiaan NTT". Pertanyaan, apakah berhenti hanya pada pengakuan ini?.

Bagi penulis, wajah pendidikan NTT yang dibiarkan terus terkebelakang sepertinya didesign dengan sengaja agar NTT tetap tinggal dalam bingkai Kemiskinan. Sehingga muncul istilah, NTT, Nanti Tuhan Tolong, atau Nasib Tidak Tentu atau...masih banyak. Meskipun "sengaja dibairkan seperti ini, Warga NTT tidak tinggal diam, mereka terus bergerak dan berjuang, dari keterbatasan mereka hadir memberikan diri dalam totalitas bagi Nusantara. Ada tokoh  yang menegaskan hal ini, yakni Frans Seda, Ben Boy, Sony Keraf dan masih banyak tokoh 

NTT MENJADI MISKIN KARNA PEMERINTAH YANG KORUP.

Kesadaran tentang pentinganya Pendidikan seharusnya menjadi Roh yang selalu menggerakan semua pihak khususnya pemerintah NTT. Namun kesadaran akan perubahaan tidak bisa berjalan efektif dan bersifat Transformatif jika jiwa para pemerintah telah dikuasai oleh sikap koruptif, nepotisme dan sukuisme. 
keterpasungan jiwa koruptif di kalangan birokarat, menyebabkan peyelenggaraan dunia pendidikan NTT tidak menyentuh pada substansi pendidikan tetapi sebatas pada upaya mengejar tingkat lulusan. 
Jika Roh pendidikan yang bertransformatif sungguh kuat dalam pemahaman pemerintah NTT maka akan lahir banyak terbosan-terobosan dalam dunia pendidikan yang lebih menekankan dan berorientasi pada budaya lokal agar pendidikan tidak tercabu dari warisab budaya.

Informasi tentang para guru Honorer tidak mungkin tidak didengar oleh pihak pemerintah. Catatan penulis menunjukan bahwa banyak tenaga honorer hanya menjadi ajang untuk merebut suara waktu pemilu. Seandainya pihak pemerintah menyadari pentinganya peran para guru Honorer maka upaya yang bisa dilakukan adalah :

1. Untuk para guru Honores difasilitasi untuk melanjutkanKuliah Terbuka agar Guru memiliki kompetensi dasar dan inti

2. Guru-guru dibekali kursus keterampilan yang lebih berfokus dan berorientasi pada pengembangan potensi lokal

3. Mendorong warga melalu komite sekolah atau Gereja agar menggalang dana  bagi para guru Honerer melalui sumbangan padi, jangung, umbi-umbian, Bagi penulis praktek no 3 ini selalu dilakukan oleh warga di wilayah penulis. dan ini merupakan kearifan lokal yang harus terus dikembangkan agar memiliki managemen yang lebih baik.

PENDIDIKAN NTT, UNTUK HIDUP ATAU UNTUK NILAI UJIAN ?

NTT dengan stigma propinsi termiskin dan terkorup harus berani melakukan terobosan. Wajah pendidikan NTT harus secepatnya dibenahi. Harus ada gerakan " Revolusioner" mulai dari beberapa sekolah target atau komunitas dan HARUS DIDUKUNG OLEH PEMERINTAH YAKNI, SEKOLAH PROFESI BERORENTASI PADA PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL. Gerakan Revolusioner artinya, abaikan Kurikulum Nasional, kuatkan Muatan Lokal. Hasil dari tamatan Sekolah adalah tenaga yang siap pakai untuk membangun NTT bukan menjadi Sarjana dengan sekian argumen dangkal, sarjana yang hanya menungguh masa test PNS dan akhirnya Sarjana yang akan mewarisi semangat korupsi berjemaat.

Perubahan wajah pendidikan NTT hanya menanti wejangan dari pemerintah pusat melalui UU sama halnya terus memelihara kemiskinan. Dengan keterbatasan tekonologi dan informasi, siswa NTT tidak dapat disanding dengan Siswa dari Sekolah unggulan di Jakarta dalam hal penerapan teknologi tetapi dari segi kualitas Siswa sebagai  Calon Pemikir, NTT merupakan ladangnya. Tapi ladang itu saat ini tidak digarap dengan baik, ladang itu dibiarkan tertutup oleh orientasi  merantau, orientasi pengagungan budaya Jawa, orientasi pada PNS.

Sudah waktunya, "abaikan kurikulum Nasional" dan kuatkan mutan Lokal. Hanya melalu cara radikal ini NTT akan cepat maju.

Non Scholae sed Vita Discimus... Kita Belajar bukan untuk Sekolah tapi untuk Hidup

Salam,

ruang kesunyian cakrawala  pencerahan, 05 Juni 2013


Maju Flobamoraku tercinta.

uRan oNcu

Sumber :








No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...