Wednesday 8 May 2013

Menggagas Restorasi Hutan Terlarang Melalui Muatan Lokal

" Jangan bermain di dalam hutan itu, di situ banyak mahkluk halus yang berdiam di pohon-pohon besar" demikian sepenggal kisah yang terekam kuat di memoriku saat mengenang masa-masa kecil. Peringatan para orang tua terhadap anak-anak umumnya karna peringatan yang diturunkan dari generasi ke generasi, terkemas dalam kisah mitos, dibumbui dengan pengalaman-pengalaman penduduk yang lain berkaitan dengan dampak dari larangam tersebut. Kisah yang diwariskan tanpa ada ruang untuk mengkritisi secara ilmiah. Hasil dari penuturan kisah larangan ini adalah anak-anak taat, takut dan tidak masuk dalam hutan larangan yang disebut " Nitu Duan" ( hutan tempat tinggal para roh halus). Ketika beranjak dewasa, ketika Ilmu Pengetahuan semakin memampukan saya memahami tentang lingkungan hidup, warisan budaya, tatanan sosial dan dunia pendidikan, saya pun menyadari bahwa larangan yang dikisahkan saat saya masih Sekolah Dasar merupakan sebuah misteri filsafat kehidupan. Memahami misteri filsafat kehidupan ini, cara yang tepat adalah melalui dunia pendidikan baik secara formal maupun informal. Bentangan kisah warisan budaya, khususnya kaitan dengan relasi dengan alam secara tegas menggambarkan sebuah relasi saling keterkaitan. Namun upaya menyingkapkan makna di balik gambaran ini masih sebatas pada cerita tanpa ada upaya konstruktif, sisitimatis dan berkelanjutan sebagai upaya pencerahan. Untuk itu maka pendidikan dalam konteks muatan lokal hendaknya memberikan ruang yang lebih luas bagi para pendidik untuk mendorong anak-anak menjelajahi warisan budaya melalui kegiatan mengamati dan menuliskan kembali apa yang dirasakan, apa yan ditemukan. Melalui rancangan kegiatan berbasis budaya lokal berorientasi pemahaman holistik anak-anak didorong untuk mendalami hutan terlarang ini. Dengan interakasi secara langsung dalam kawasan hutan terlarang anak-anak bisa belajar lebih mendalam tentang keragaman pohon-pohon, rumput-rumput dan aneka mahkluk hidup lainnya. Melihat secara langsung anak-anak dapat menemukan rahasia kehidupan di balik kisah larangan ini yakni suara-suara yang memohon untuk melindungi bukan merusak, suara panggilan untuk menata kembali hutan bukan merebut untuk bangunan beton, suara untuk menanam bukan mencabut atau menebang. Bagi penulis larangan yang diwariskan merupakan pesan yang harus tersingkap yakni makna keterpanggilan untuk menjaga, merawat dan melestarikan hutan. Langkah yang tepat adalah restorasi hutan terlarang ini. Hutan yang tadi menakutkan bagi masyarakat telah berubah menjadi media intekasi sosial, pendidikan dan budaya bagi anak-anak untuk terus belajar memahami alam sambil terus berupaya merestorasi hutan melalui kegiatan menanam, merawat pohon-pohon di dalam hutan terlarang tersebut. Pada titik ini, larangan yang diwariskan bukan karna ketakutan akan roh halus tetapi lahir dari kesadaran akan ketakutan hilangnya relasi holistic yang dapat membahayakan eksistensi manusia itu sendiri, relasi yang saling berkaitan, relasi yang bersolidaritas. Sudah waktunya upaya merestorasi hutan terlarang menjadi bagian inti dari kurikulum muatan lokal, sudah waktunya aktivitas menanam pohon menjadi “keterpanggilan bukan sekedar kewajiban”. MARI SELAMATKAN BUMI KITA DENGAN MENANAM DAN TERUS MENANAM Uran, Fabianus Boli Note : artikel ini dilombakan di Cimb Niaga Blog Kompetetions

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...