Tuesday 26 March 2013

Wajah Pendidikan Nasional- Revisi


Menggagas Pendikan Profesi
sebagai Pilihan Strategis dalam Menterjemahkan Muatan Lokal
(Studi Kasus pada Sekolah-Sekolah SD dan SMP Kecamatan Ilebura-Kabupaten Flores Timur NTT)


Pendahuluan

Sebuah adagium dalam bahasa latin “ Non Scholae Sed Vita Discimus” Kita belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup” menginspirasi penulis di awal tulisan ini, sebagai sebuah refleksi atas potret dunia pendidikan Indonesia. Landasan-landasan yang dipaparkan dalam pembukaan Undang-Undang Pendidikan Nasional 2013  yakni Landasan  Yuridis, Filosofis dan Teoritis menegaskan tentang semangat perubahaan menuju Indonesia yang lebih baik, yang harus dimulai dari dunia pendidikan. Wacana perubahan kurikulum ini menjadi polemik yang hangat dibicarakan di media massa dan menjangkau ke pelosok-pelosok Indonesia di mana akses terhadap berita sangat susah diperoleh. Akibatnya perubahaan ini membuat para guru jadi bingung, gagap dalam mengkomunikasikan secara strategis dalam rencana pembelajaran di sekolah-sekolah.

Pengalaman waktu liburan Natal tahun 2012 membuat penulis merenungkan kembali makna dan hakekat pendidikan Nasional. Dalam perdiskusian dengan para guru di wilayah Kecamatan Ileburan Kabupaten Flores Timur-NTT para guru umumnya  belum memahami tentang konteks dan konsep muatan lokal. Berbekal pengalaman mendampingi kelompok wirausaha baik di kalangan remaja maupun orang dewasa serta kegiatan-kegiatan dalam Kreativitas Bermain Anak di Jakarta melalui Yayasana Wahana Visi Indonesia,  penulis mencoba membangikan pemahaman dan perdiskusian tentang konsep kewirausahaan sebagai media awal dalam menjawab serta menterjemahkan kurikulum 2013 yakni konsep  muatan lokal.




Pendidikan Berorientasi pada Profesi dan Fokus Nilai Budaya Lokal

Pengalaman penulis ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, setiap murid wajib mengelola kebun sekolah. Pengalaman ini sungguh membekas dan menginspirasi penulis bahwa pendidikan itu adalah proses mendekatkan peserta didik pada realita, pada kebudayaan lokal, belajar mencintai budaya lokal  dan bagaimana mengelola budaya tersebut sebagai modal sosial, ekonomi dan pendidikan.  Realita menunjukan bahwa pendidikan selama ini kurang menempatkan pendidikan nilai berbasis pada warisan budaya. Output dari pendidikan seharusnya  menjadikan manusia yang mampu berpikir mandiri, bebas, berpikir fokus dan berorentasi pada pengembangan sumber daya yang dimiliki. Ini harapan sebagaima terbaca dalam spirit perubahan Kurikulum 2013 ini. Namun realita menunjukan bahwa banyak generasi mudah lebih memilih menjadi perantau di Malasya dengan keterbatasan keterampilan.  Kasus seperti ini terus mendera masyarakat NTT yang selalu diidentik dengan kemiskinan. Pilihan merantau (red bekerja dengan minimnya keterampilan)  sepertinya menjadi pilihan pragmatis dan sesaat untuk menjawab kondisi kemiskinan ini.

Bagi penulis kemiskinan yang melanda NTT bukan karna semata kondisi geografis alam tetapi karna landasan pendidikan selama ini yang membuat warga NTT menjadi miskin dalam  pradigma pendidikan yakni pendidikan berorientasi pada Profesi dan Fokus Nilai. Pendidikan yang mengabaikan mereka dari rasa cinta akan warisan budaya, rasa cinta akan kekayaan alam.

 Bayak pakar berbicara dan mendefenisikan  konsep Profesi namun penulis merujuk pada konsep profesi menurut Daniel Bell (1973)  bahwa;
Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan ketrampilan teknis dan moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat”[1]

Bagi penulis konsep ini sangat cocok diaplikasikan dalam penterjemahan  kurikulum Nasional  2013 tentang muatan lokal.  

Muatan Lokal yang Berkelanjutan

Sebagai sebuah aktivitas Intelektual, kurukulum muatan lokal harus dikemas secara berjenjang dan berkelanjutan. Artinya muatan lokal yang dipelajari atau yang menjadi pilihan peserta sejak Sekolah Dasar harus diterukan di bangku pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan juga  sampai ke jenjang Sekolag Menengah Atas atau Kejuaruan. Rentang waktu  di setiap jenjang pendidikan merupakan proses pencaharian, pergumulan untuk menemukan rahasia-rahasia atas sebuah objek kajian. Aktivitas bukan sekedar implementasi program tetapi sebuah proses menuju kesadaran utuh dan holistik. Pemetaan yang penulis lakukan terhadap sumber daya dan warisan budaya yakni cara mengelola hidup di Kecamatan Ilebura menempatkan empat pilihan hidup yakni sebagai Petani, Nelayan, Peternak dan Penenun (tenun sarung). Empat cara hidup ini dalam pengamatan penulis dan juga hasil wawancara dengan para stakeholders[2] menunjukan bahwa warisan hidup ini semakin ditinggalkan. Kasus anak-anak gadis membeli sarung dari wilayah lain karna tidak bisa menenun lagi membuat miris jiwa setiap putra lewotana (daerah). Kasus anak-anak yang hanya tau (mau) konsumsi nasi dari beras padi merefeleksikan terjadinya pergeseran dan kemunduran nilai-nilai budaya lokal.  Kasus tanaman Sorgum yang merupakan warisan budaya dari leluhur telah dilupakan oleh masyarakat. Banyak anak muda tidak tahu lagi tentang sorgum. Banyak petani tidak menyimpan bibit sorgum ini. Kasus para sarjana di wilayah ini  umumnya  hanya berorientasi menjadi Pegawai Negeri Sipil menempatkan kemerdekaan cara berpikir sebagai agen  perubahan pada tataran nilai-nilai social, budaya, ekonomi, politik hanya sekedar wacana dan diskursus di masa-masa kuliah. Ini menegaskan bahwa generasi mudah tidak mampu berpikir out of the box,  karna situasi pendidikan, sosial dan ekonomi yang dihadapinya hanya menawarkan solusi pragmatis menjadi perantau atau berjuang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Melalui rancangan muatan lokal yang berkelanjutan dari setiap jenjang, anak-anak  memiliki kapasitas, modal ketika mereka memasuki usia produktif. Generasi mudah tidak akan menjadi gagap ketika tamat dari SMA atau tamat dari Perguruan Tinggi karna ia telah mempunyai bekal keterampilan dan juga karna sejak awal ia telah menentukan orientasi yang jelas. Kejelasan orientasi inilah mendorong orang untuk fokus dan setia menekunin pilihan profesinya.

Untuk itu pilihan strategis pengembangan muatan lokal  harus didesign sebagai sebuah proses pendidikan profesi  sejak  di Sekolah Dasar, berfokus pada penelitian, pengembangan sumber-sumber daya yang ada baik alam maupun sosial.  Sebagai sebuah proses penelitian dan pengembangan, maka pendekatan yang harus dilakukan didukung dengan perangkat teknologi tepat guna. Artinya dalam anggaran pendidikan yang dirancang oleh pihak Sekolah harus secara sengaja dibuat pos khusus untuk alokasi anggaran ini dan mekanisme pengelolaan harus dikelola secara kemitraan, serta value chained.

Strategi Kemitraan

Konsep Kemitraan berarti pengembangan muatan lokal tidak dikerjakan sendirian oleh pihak sekolah tetapi harus melibatkan semua pihak yakni masyarakat di sekitarnya, para orang tua serta lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Kearifan lokal yakni adanya kebun sekolah di wilayah Lewotobi bagi SMPK Ilebura  merupakan asset dan pintu masuk untuk proses belajar siswa menjadi orang yang pakar di bidang pertanian. Dengan demikian pekerjaan sebagai petani dapat dikategorikan sebgai Profesi Petani, juga ketiga mata pencaharian lainnya. Sedangkan konsep Value Chained adalah membangun rantai nilai.

 Satu dari sekian konsep  kerja yang ditawarkan penulis ke para guru SD dan SMPK Ileburan yakni menghasilkan Sarung yang berkualitas. Prosesnya sebagai berikut;  Desa Nurabelen di Kecamatan Ilebura, lahanya sangat cocok untuk menanam kapas dan hasil kapasnya lebih berkualitas jika dibandingkan dengan wilayah lain. Konsep Value Chained  di sini artinya, para peserta didik (SDK Nurabelen) mengambil porsi dan fokus pada proses pembibitan, penanaman serta pemeliharan kapas sehingga menghasilkan kapas yang berkualitas yang lain. Untuk proses pemintalan menjadi benang dikelola oleh SDK Riangkaha, SDK Lewouran untuk  proses pencampuran benang dengan  zat dari bahan lokal, SDK Lewotobi mengambil peran pembuatan motif dan SDK Buranilan serta Riang Baring pada proses menenun.  Dan untuk SMPK Ilebura mengambil peran pada proses mengelola sarung tenun ini menjadi aneka bentuk seperti  Jas, Tas, sarung HP, dan aneka bentuk lainnya.[3]

Setiap proses yang dijalani  harus  manage sebagai proses kreativiatas, Improvisasi dan Inovasi. Dan keseluruhan proses harus dibingkai dalam  terang nilai Etika dan Moral. Artinya uji coba dan pengembangan yang terus menerus semakin menyadarkan peserta akan tuntutan dan panggilan nurani serta pilihan profesi yang akan dia jalani. Kalau mau menjadi petani jagung yang baik, maka ada standard kualitas produk yang harus dijaga, ada standard etika yang dijunjung tinggi. Selain itu  Setiap peserta yang terlibat dalam proses ini baik secara pribadi atau kelompok wajib menghasilkan sebuah tulisan Ilmiah atas hasil temuan mereka dan dipublikasikan melalui mimbar Gereja, Mading Sekolah dan Surat Kabar Lokal juga Nasional.

Dengan mengelola mutan lokal (Mulok) sebagai sebuah pilihan strategis, sisitimatis  para peserta didik akan menjadi manusia yang mandiri dalam cara berpikir, manusia yang terus menerus mencari bentuk terbaik dalam melayani dengan mempersembahkan temuan-temuan baru yang berbasis pada warisan budaya.  Melalui rancangan pendidikan profesi, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang telah memiliki impian yang jelas, bukan impian abstrak dan mereka tau cara dan jalan menuju impian ini.

Selamat merenung dan mari kita lakukan sesuatu untuk menyelamatkan dunia pendidikan kita

Jakarta, 23 Maret 2013
 Fabianus Boli Uran,
Pengamat Sosial, Budaya dan Pendidikan Saat ini sedang kuliah dan bekerja di Jakarta.



[2] Hasil Observasi selama tahun 2000- 2005 sebelum penulis ke Jakarta untuk melanjutkan studi serta pengamatan dan diskusi dengan para stakeholders selama Desember 2012- Januari 2013 waktu liburan di Kampung. Berkaitan dengan sorgum dapat dibaca di http://www.tempo.co/read/news/2012/11/12/090441238/Profesor-Sorgum-Menangis-di-Depan-Dahlan-Iskan,
http://sains.kompas.com/read/2011/12/13/03434068/Pemburu.Benih.Sorgum.Flores?. Tentang Sorgum, waktu Liburan penulis melakukan sosialisasi tentang Sorgum dan banyak petani terkejut. Namun persoalan adalah bagaimana mengelola sorgum ini menjadi tepung beras. Hasil pemetaan di Lewotobi, Ibu kota Kecamatan Ilebura,  hanya emapt  keluarga yang masih menyimpan dan menanam sorgum ini termasuk di keluarga penulis.

[3] Diskusi tentang kewirausahaan dengan para guru SD se kecamatan Ilebura dan SMPK Ilebura, Lewotobi, 07 Januari 2013.

Wajah Pendidikan Nasional


Permainan Tradisional Bisa Jadi Media Pembelajaran
Rabu, 27 Maret 2013 | 06:53 WIB
 Dibaca: 1 Komentar: -
| Share:

ancient-wisdom-blog.blogspot.com
Dua perempuan sedang bemain dakon
YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Mainan tradisional sepatutnya dilestarikan, karena bisa menjadi media pembelajaran bagi anak-anak, kata peneliti dari Institut Seni Indonesia Surakarta Bagus Indrayana.

"Melalui permainan tradisional itu akan membangun kesadaran kolektif dalam bersosialiasi dengan anak-anak lainnya. Selain itu juga dapat menjadi media pembelajaran dalam penanaman sikap dan perilaku dalam kebersamaan," katanya di Yogyakarta, Selasa.

Menurut dia saat memaparkan hasil penelitiannya di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), mainan tradisional memiliki fungsi sosial dan budaya terkait dengan perkembangan anak menuju pemilikan pengetahuan dan keterampilan baik individu maupun kolektif.

"Perilaku kolektif terlihat pada kegiatan bermain di mana anak-anak saling berkomunikasi, bercanda, dan bermain dengan benda mainannya, seperti dhakon, gasingan, dan wayang umbul," katanya.

Ia mengatakan, mainan tradisional memiliki peranan signifikan dalam menumbuhkan kebebasan berkreasi, keleluasaan menetapkan pilihan material, bentuk, teknik, dan aturan bermain secara mandiri.

Proses pembuatan mainan tradisional menjadi ajang transformasi pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan orang tua kepada anak-anak.

"Proses tersebut mendorong anak-anak untuk menciptakan mainan sendiri sekaligus mengembangkan imajinasi, daya kreasi, dan keterampilan mereka," katanya.

Menurut dia, keberagaman mainan tradisional diciptakan tidak hanya sebagai sarana bermain semata. Selain itu mainan tradisional diciptakan dengan mengejawantahkan nilai filosofi dan keindahan fungsional yang sangat kompleks.

"Kompleksitas tersebut berkaitan dengan pandangan, perilaku, dan aktivitas hidup masyarakat penggunanya," katanya.

Misalnya, dalam mainan dhakon, yang dibuat dari batu berkaitan dengan upacara ritual yang di dalamnya mengandung nilai rohani, makna sosial, dan ungkapan estetika masyarakat.

Permainan dhakon merupakan gambaran perilaku petani sejak mereka melakukan kegiatan menanam benih di sawah hingga memanen dan menyimpan hasilnya dalam lumbung penyimpanan.

"Hal itu mencerminkan kehidupan masyarakat Yogyakarta di luar keraton yang menyandarkan hidupnya dari hasil pengolahan sawah dan ladang," katanya.

Ia mengatakan, mainan tradisional perlu diteruskan kepada generasi muda untuk menjaga eksistensi di tengah maraknya beraneka macam mainan modern saat ini.

Salah satunya bisa dilakukan dengan mengadakan festival mainan tradisional. Melalui kegiatan itu diharapkan generasi muda dapat menghayati dan memahami kompleks nilai di dalamya.

"Pewarisan juga bisa dilakukan melalui pendidikan formal maupun nonformal, misalnya dengan membentuk komunitas peduli mainan tradisional," katanya.


Sumber : Kompas Online, 27 Maret 2013

Wajah Pendidikan Nasional

http://oase.kompas.com/read/2013/03/27/06534914/Permainan.Tradisional.Bisa.Jadi.Media.Pembelajaran?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Sahabat, Ini Aku


aku menantimu pagi ini
merindukanmu, kutepis kabut malam, kusibak mimpi
agara ada waktu
cukup sejenak buat  gita syairmu
kusibak waktu untukmu
mendendangkan melodi
cukup aku mendengar suaramu
lantunan kisah musim panas berpagut
di beranda musim semi
untukmu sahabat
aku ada untukmu
kudengar tangismu
ini sapu tangan bersulang mawar
ini waktu meteraikan kisah
adamu
adaku
untuk berbagi
jangan ragu engkau menyapa
ini waktu sematkan rindu
Buat Sahabat Berinisial R
…………….
Uran Oncu, 27 Maret 2013

Saturday 23 March 2013

MENJAWAB KURIKULUM 2013


Menggagas Pendikan Profesi
sebagai Pilihan Strategis dalam Menterjemahkan Muatan Lokal
(Studi Kasus pada Sekolah-Sekolah SD dan SMP Kecamatan Ilebura-Kabupaten Flores Timur NTT)

Pendahuluan

Sebuah adagium dalam bahasa latin “Non Scholae Sed Vita Discimus” Kita belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup” menginspirasi penulis di awal tulisan ini, sebagai sebuah refleksi atas potret dunia pendidikan Indonesia. Landasan-landasan yang dipaparkan dalam pembukaan Undang-Undang Pendidikan Nasional 2013  yakni Landasan  Yuridis, Filosofis dan Teoritis menegaskan tentang semangat perubahaan menuju Indonesia yang lebih baik, yang harus dimulai dari dunia pendidikan. Wacana perubahan kurikulum ini menjadi polemik yang hangat dibicarakan di media massa dan menjangkau ke pelosok-pelosok Indonesia di mana akses terhadap berita sangat susah diperoleh. Akibatnya perubahaan ini membuat para guru jadi bingung, gagap dalam mengkomunikasikan secara strategis dalam rencana pembelajaran di sekolah-sekolah.

Pengalaman waktu liburan Natal tahun 2012 membuat penulis merenungkan kembali makna dan hakekat pendidikan Nasional. Dalam perdiskusian dengan para guru di wilayah Kecamatan Ileburan Kabupaten Flores Timur-NTT para guru umumnya  belum memahami tentang konteks dan konsep muatan lokal. Berbekal pengalaman mendampingi kelompok wirausaha baik di kalangan remaja maupun orang dewasa serta kegiatan-kegiatan dalam Kreativitas Bermain Anak di Jakarta melalui Yayasana Wahana Visi Indonesia,  penulis mencoba membangikan pemahaman dan perdiskusian tentang konsep kewirausahaan sebagai media awal dalam menjawab serta menterjemahkan kurikulum 2013 yakni konsep  muatan lokal.

Pendidikan Berorientasi pada Profesi dan Fokus Nilai Budaya Lokal

Pengalaman penulis ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, setiap murid wajib mengelola kebun sekolah. Pengalaman ini sungguh membekas dan menginspirasi penulis bahwa pendidikan itu adalah proses mendekatkan peserta didik pada realita, pada kebudayaan lokal, belajar mencintai budaya lokal  dan bagaimana mengelola budaya tersebut sebagai modal sosial, ekonomi dan pendidikan.  Realita menunjukan bahwa pendidikan selama ini kurang menempatkan pendidikan nilai berbasis pada warisan budaya. Output dari pendidikan seharusnya  menjadikan manusia yang mampu berpikir mandiri, bebas, berpikir fokus dan berorentasi pada pengembangan sumber daya yang dimiliki. Ini harapan sebagaima terbaca dalam spirit perubahan Kurikulum 2013 ini. Namun realita menunjukan bahwa banyak generasi mudah lebih memilih menjadi perantau di Malasya dengan keterbatasan keterampilan.  Kasus seperti ini terus mendera masyarakat NTT yang selalu diidentik dengan kemiskinan. Pilihan merantau (red bekerja dengan minimnya keterampilan)  sepertinya menjadi pilihan pragmatis dan sesaat untuk menjawab kondisi kemiskinan ini.

Bagi penulis kemiskinan yang melanda NTT bukan karna semata kondisi geografis alam tetapi karna landasan pendikan selama ini yang membuat warga NTT menjadi miskin dalam  pradigama pendidikan yakni pendidikan berorientasi pada Profesi dan Fokus Nilai. Pendidikan yang mengabaikan mereka dari rasa cinta akan warisan budaya, rasa cinta akan kekayaan alam.

 Bayak pakar bebicara dan mendefenisikan  konsep Profesi namun penulis merujuk pada konsep profesi menurut Daniel Bell (1973)  bahwa;
Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan ketrampilan teknis dan moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat[1]

Bagi penulis konsep ini sangat cocok diaplikasikan dalam penterjemahan  kurikulum Nasional tentang muatan lokal. Pemetaan yang penulis lakukan terhadap Sumber Daya dan Warisan Budaya yakni cara mengelola hidup di Kecamatan Ilebura menempatkan empat pilihan hidup yakni sebagai Petani, Nelayan, Peternak dan Penenun (tenun sarung). Empat cara hidup ini dalam pengamatan penulis dan juga hasil wawancara dengan para stakeholders[2] menunjukkan bahwa warisan hidup ini semakin ditinggalkan. Kasus anak-anak gadis membeli sarung dari wilayah lain karna tidak bisa menenun lagi membuat miris jiwa setiap putra lewotana (daerah). Kasus anak-anak yang hanya tau (mau) konsumsi nasi dari beras padi merefeleksikan terjadinya pergeseran dan kemunduran nilai-nilai budaya lokal.  Kasus tanaman Sorgum yang merupakan warisan budaya dari leluhur telah dilupakan oleh masyarakat. Banyak anak muda tidak tahu lagi tentang sorgum. Banyak petani tidak menyimpan bibit sorgum ini. Kasus para sarjana yang hanya berorientasi menjadi Pegawai Negeri Sipil menempatkan kemerdekaan cara berpikir sebagai agen  perubahan pada tataran nilai-nilai social, budaya, ekonomi, politik hanya sekedar wacana dan diskursus di masa-masa kuliah.

Untuk itu pilihan strategis pengembangan muatan lokal  harus didesign sebagai sebuah proses pendidikan profesi  sejak  di Sekolah Dasar yang berfokus pada penelitian, pengembangan sumber-sumber daya yang ada baik alam maupun sosial.  Sebagai sebuah proses penelitian dan pengembangan, maka pendekatan yang harus dilakukan didukung dengan perangkat teknologi tepat guna. Artinya dalam anggaran pendidikan yang disampaikan oleh pihak Sekolah harus secara sengaja dibuat pos khusus untuk alokasi anggaran ini dan mekanisme pengelolaan harus dikelola secara kemitraan, serta value chained.

Konsep Kemitraan berarti pengembangan muatan lokal tidak dikerjakan sendirian oleh pihak sekolah tetapi harus melibatkan semua pihak yakni masyarakat di sekitarnya, para orang tua serta lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Kearifan lokal yakni adanya kebun sekolah di wilayah Lewotobi bagi SMPK Ilebura  merupakan asset dan pintu masuk untuk proses belajar siswa menjadi orang yang pakar di bidang pertanian. Dengan demikian pekerjaan sebagai petani dapat dikategorikan sebgai Profesi Petani, juga ketiga mata pencaharian lainnya. Sedangkan konsep Value Chained adalah membangun rantai nilai.

 Satu dari sekian konsep  kerja yang ditawarkan penulis ke para guru SD dan SMPK Ileburan yakni menghasilkan Sarung yang berkualitas. Prosesnya sebagai berikut;  Desa Nurabelen di Kecamatan Ilebura, lahanya sangat cocok untuk menanam kapas dan hasil kapasnya lebih berkualitas jika dibandingkan dengan wilayah lain. Konsep Value Chained  di sini artinya, para peserta didik (SDK Nurabelen) mengambil porsi dan fokus pada proses pembibitan, penanaman serta pemeliharan kapas sehingga menghasilkan kapas yang berkualitas yang lain. Untuk proses pemintalan menjadi benang dikelola oleh SDK Riangkaha, SDK Lewouran untuk  proses pencampuran benang dengan  zat dari bahan lokal, SDK Lewotobi mengambil peran pembuatan motif dan SDK Buranilan serta Riang Baring pada proses menenun.  Dan untuk SMPK Ilebura mengambil peran pada proses mengelola sarung tenun ini menjadi aneka bentuk seperti  Jas, Tas, sarung HP, dan aneka bentuk lainnya.[3]

Setiap proses yang dijalani  harus  manage sebagai proses kreativiatas, Improvisasi dan Inovasi. Dan keseluruhan proses harus dibingkai dalam  terang nilai Etika dan Moral. Artinya uji coba dan pengembangan yang terus menerus semakin menyadarkan peserta akan tuntutan dan panggilan nurani serta pilihan profesi yang akan dia jalani. Kalau mau menjadi petani jagung yang baik, maka ada standard kualitas produk yang harus dijaga, ada standard etika yang dijunjung tinggi. Selain itu  Setiap peserta yang terlibat dalam proses ini baik secara pribadi atau kelompok wajib menghasilkan sebuah tulisan Ilmiah atas hasil temuan mereka dan dipublikasikan melalui mimbar Gereja, Mading Sekolah dan Surat Kabar Lokal juga Nasional.

Dengan mengelola mutan lokal (Mulok) sebagai sebuah pilihan strategis, sisitimatis  para peserta didik akan menjadi manusia yang mandiri dalam cara berpikir, manusia yang terus menerus mencari bentuk terbaik dalam melayani dengan mempersembahkan temuan-temuan baru yang berbasis pada warisan budaya.  Melalui rancangan pendidikan profesi, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang telah memiliki impian yang jelas, bukan impian abstrak dan mereka tau cara dan jalan menuju impian ini.

Selamat merenung dan mari kita lakukan sesuatu untuk menyelamatkan dunia pendidikan kita.


Uran, 23 Maret 2013
Pengamat Sosial, Budaya dan PendidikanSaat ini sedang kuliah dan bekerja di Jakarta


[2] Hasil Observasi selama tahun 2000- 2005 sebelum penulis ke Jakarta untuk melanjutkan studi serta pengamatan dan diskusi dengan para stakeholders selama Desember 2012- Januari 2013 waktu liburan di Kampung. Berkaitan dengan sorgum dapat dibaca di http://www.tempo.co/read/news/2012/11/12/090441238/Profesor-Sorgum-Menangis-di-Depan-Dahlan-Iskan,
http://sains.kompas.com/read/2011/12/13/03434068/Pemburu.Benih.Sorgum.Flores?. Tentang Sorgum, waktu Liburan penulis melakukan sosialisasi tentang Sorgum dan banyak petani terkejut. Namun persoalan adalah bagaimana mengelola sorgum ini menjadi tepung beras. Hasil pemetaan di Lewotobi, Ibu kota Kecamatan Ilebura,  hanya emapt  keluarga yang masih menyimpan dan menanam sorgum ini termasuk di keluarga penulis.

[3] Diskusi tentang kewirausahaan dengan para guru SD se kecamatan Ilebura dan SMPK Ilebura, Lewotobi, 07 Januari 2013.

Be My Baby- The Ronettes Acoustic Cover (By Jorge and Alexa Narvaez)

EPIC MOUSE ARGUMENT!!!

The Cutest Argument

Untuk sebuah Keagungan antara Cinta dan Keluarga

  Untukmu,
Gadis manis ..........
hadirmu sekejap waktu torehkan sepercik aneka warna
di pigura ini, lukisan  ini belum selesai, masih ada kata
masih terselimut di balik cat warna, beraroma musim panas
berpadu garis antara musim hujan berpamit saat tanaman mulai kehausan
aku pun berhenti di pinggir jalan
menatap hiruk pikuk kehidupan, mencoba menyekah peluh
tulisanmu...
pesanmu...
diam kubaca, hiruk pikuk tak kudengar
kurasakan dukamu
kudengar tangismu

kata terselimut di pigura waktu
terbaca jelas saat ini, 
musim kemarau cukup hari ini
layukan harapanku
debu jalanan temani impian, buyar terbang
ya....

tulisan ini semakin jelas
pesanmu cukup mewakili gulatan ini
saat kita harus menarik garis batas

Aku harus pergi melukiskan  syair di bukit batu
agar anak nelayan membaca jelas saat biduknya merapat
aku harus pergi mendendangkan syair tua,
mengemakan kembali seruling petani
melukiskan kembali pilihan hidup 
dengan cara baru aku memilih jalan ini

tulisan kita hari ini berhenti
pena ini kau patahkan agar aku mencari yang lain
namun engkau lupa masih ada  potongan pisau
kurajut kembali, cukup tajam untuk menulis

tapi aku hanya diam
Diammu kepakkan sayap patah
terluka...aku diam
menatap tulisan
membaca tulisanmu
menyusuri lorong waktu kita
saat jumpa, saat tangismu saat tawamu

Dahagaku semakin gerogoti jiwaku
kuusap peluhku menakar rasa pahit dan tawar
setawar jiwa sunyi..sejenak kulupakan dahaga
kubiarkan jiwaku rasakan pahit ini
rasakan dukamu
rasakan sepihmu

peluhku bercampur litani
engkau pergi karna  kita beda
engkau diam untuk menutup hati
pesan ibumu jelas terbaca
" biarkan ia memilih jalannya
Orang yang pulang kampung adalah orang yang kalah dalam pertarungan di kota"

ya...
kita berbeda
aku rindu menulis syair di bukit batu
jiwaku terpanggil membacakan puisi-pusi tua yang telah lama hilang

akan tiba waktunya aku akan kembali
menjadi petani di desaku
berharap engkau temani aku
mungkin suatu saat aku menjadi kepala desa
engkau menjadi ibu desa bagaikan syair puisi Rendra

Pesan ibumu jelas
aku tersanjung dengan pujiannya
karna aku kalah untuk kemuliaan
untuk keagungan warisan budaya kami

Aku tak menyesal mencintaimu, pesanmu
kata ini pun sama kupesan lewat kepak malam ini...


di sini, di tempat kita pernah bersama
kutuliskan namamu
sekali lagi
kusebut namamu
sekali lagi
lagi
semoga esok pagi ada jawaban darimu....

untukmu yang tercinta....

23 Maret 2013


Selamat Jalan Oa - Frenky Kromen & Yanti Buran

Friday 22 March 2013

"Aku Tak Menyesal Mencintaimu"


Kubaca berulang kali kalimatmu hari ini,
kutatap sekali lagi dalam diam
pada lembaran bisu di layar
“Aku tak menyesal mencintaimu”
mungkin ini kalimat akhir
sepanjang hari-hari sepih tiada berita darimu
Aku tak menyesal mencintaimu
mungkin ini semacam baris doa kepasrahan berlitani di lorong waktu
saat engkau harus menjawab pisah, saat jiwamu memutuskan
akhiri rajutan kisah ini
sebelum mata pisau kembali melukai karna rajutannya
atau saat jarum menusuk jemarimu saat tangan menyulam selendang
dari dua potong kain yang kukirim
berharap kita kenakan warna sama di Paskah ini
Aku tak menyesal mencintaimu
atau mungkin ini komitmenmu untuk terus setia
Aku berdiam diri, menatap panjang
terus menatap kalimat ini…
Aku masih di sini
dalam kebingungan akan kalimatmu ini
………..
Uran Oncu, 22 Maret 2013

Wednesday 20 March 2013

Keiindahan Foto sebagai Bagian dari Pembangunan

http://kfk.kompas.com/blog/view/138460

Tanamkan Rasa Kagum ini, Tuhan


Engkau yang bernama Tuhan
Kupanggil engkau malam  ini dalam sepi
Mencekam, menakutkan sepih tiada teman
Seperti saat engkau sendirian di sudut waktu doa
Saat sahabatmu meninggalkan engkau
Engkau Tuhan kupanggil engkau di sudut waktu
Saat malam menepih pisah menanti mentari
Saat burung-burung mendaraskan mazmur
Kupanggil engkau untuk meletakan kembali
Potongan kisah yang hilang
Bukan tentang kekayaan
Bukan deretan pujian
Juga bukan litani, duka ratapan
Kupanggil engkau
Untuk meletakan kembali rasa kekaguman
Saat aku melihat pemulung tua menyeberangi waktu
Memungut serpihan rejeki
Saat aku melihat boca kecil bermain
Berbagi kisah dengan anjing kecil
Saat aku melihat kucing berbagi makanan dengan anjing
Saat aku melihat boca kecil menarikan tarian
Bercelanakan longgar terlepas
Saat aku melihat sopir bajai menggoda sopir taksi
Saat aku mendengar pesanan kopi diganti susu di warung makan
Saat lampu  mera menyala dan kendaraan berhenti
Saat satpam memberi senyum menawarkan petunjuk
Saat tukang kasir menjawab Tanya di waktu sempit
Saat Ia melempar senyum tanpa aku kenal siapa dia

Tuhan, Engkau kupanggil malam ini,
Engkau kupanggil di pagi hari
Engkau kupanggil di senja hari
Hanya mau menyampaikan
Rasa kagumku akan hal-hal kecil
Ia yang memberikan rasa indah
Ia yang menawarkan kebijaksanaan hidup
Kupinta cukup tananmakn rasa Kagum
Di sudut jiwaku yang perlahan beku
Aku rindu merasakan Hadirmu
Setiap waktu
Setiap bentuk
Setiap warna
Engkau kupanggil
Dengan senyum ini....


Uran Oncu, 20 Maret 2013
read more http://kompasiana.com/uran

Sanggar Musik Tradisonal Vincentia Orkestra - Larantuka - Flores Timur -...

Friday 15 March 2013

Mahasiswa, Antara Logika Pemikiran vs Sikap Premanisme

Kompas Online hari ini http://nasional.kompas.com/read/2013/03/14/16271830/SBY.Akan.Dilempar.Sepatu.jika.Hadiri.Kongres.HMI membuat saya terkejut dan reaksi para pembaca pun di kolom tanggapan menunjukan reaksi yang sama yakni menggugat cara berpikir dan bertindak seperti preman.


Dalam beberapa tulisan yang penulis telusuri melalui google seperti di link http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-mahasiswa-menurut-para-ahli/ dan di http://geowana.wordpress.com/2008/08/10/peran-fungsi-posisi-mahasiswa/ menjelaskan bahwa mahasiswa adalah agen perubahaan, agen penyebaran nilai-nilai kehidupan. Sejarah mencatat bahwa Mahasiswa membawa perubahaan di negara ini menuju alam reformasi bahwa gerakan mahasiswa memampukan seluruh anak negeri dari berbagai lapisan tergerak dan bersatu dalam perjuangan mewujudkan Indonesia yang lebih baik.


Perjuangan mewujudkan Indonesia yang lebih baik bukan dengan cara-cara kekerasan tetapi melalui dialog yang terus menerus. Mahasiswa dilatih untuk bersikap kritis atas segala persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara dan bagaimana menghadirkan kritikan serta solusi dalam diskursus-diskursus Ilmiah, bukan melalui cara-cara praperadaban.


Membaca tulisn di kompas Online tentang penolakan Kehadiran Presiden RI di  Kongres HMI yang disertai dengan ancaman melemparkan sepatu menunjukan tingkat intelektualitas mahasiswa yang masih bergerak pada tataran Premanisme. Karna Mahasiswa tidak sanggup membangun diskursus ilmiah, tidak sanggup atau gagap dalam membangun dialog dengan menampilakn data serta solusi yang transformatif sehingga cara yang tepat untuk mengkomunikasikan " kebenaran menurut pemikiran dangkal mereka" adalah cara-cara kekerasan.


Bagi penulis, ini merupakan wujud dari kemunduran dunia pendidikan Indonesia, wujud kegagalan ruang dan waktu dialog Ilmiah di Perguruan Tinggi.  Sudah waktunya kita membenahi dan menempatkan dialog dalam spirit  Solidaritas untuk membangun bangsa ini.

Baca juga di http://kompasiana.com/uranhttp://kompasiana.com/uran http://polhukam.kompasiana.com/politik/2013/03/15/1/537300/-mahasiswa-antara-logika-pemikiran-vs-sikap-premanisme

Wednesday 13 March 2013

Barcelona Vs AC.Milan (4-0) 2013 Goals & Highlights (12/3/2013) HD

 Inspirasi tentang Kerja Team, Harapan dan Determinasi

Wanita Berkain Sutra dan Boca Kecil...Bagian pertama


di atas pagung kehidupan, saat Sang Waktu beranjak menapak tangga, di sudut pangung tersingkap dada belahan kiri, dari dia yang sedang menggengam erat Rasa Emosi, benci dan dendam berbalut pakain putih, tersulang dari sutra, dan saat Sang Waktu mengambil tapak pertama di tepi panggung, ada boca kecil berlarian, riang melepas bebas, tanpa sehelai kain ......
wanita muda berkain sutra dengan dada tersingkap, berpikir " wahhhh kolot nih anak... bisa bau badan gue karna dia....."

pagung sepih, boca kecil sentak terdiam, mata kecilnya berbinar, menari-nari,,,,,
ah.... ngapain aku takut....gumam si boca
ini kan hanya seorang wanita cantik... tapi sayang ia bukan wanita benaran.... 

wahhhhh, apaan sih yang dipikirin boca tengik ini, pikir wanita ini... sambil mencoba mengusap hidung mancungnya yang agak menjorok ke dalam...mencoba menutup aroma bauh tak sedap...

boca kecil itu diam,,, mata kecilnya makin berbinar.... hidunganya mengendus orama segar, sejuk, .......

ah...ini bukan bauh harum dari tubuh wanita berkain sutra dengan dada kiri tersingkap ini.... 

ia terus bergerak mencari... dan....
di sudut panging ia temukan sepasang angrek mekar, berwarna pelangi bermakotakan  alur-alur daun, dari waktu yang menjumput….

Apa sih yang dilihat boca itu? Kok dia begitu senang bahagia, ? tanya wanita ini…
Matanya tak sanggup menatap keindahan karna panggun waktu ini terlalu kecil untuk mata yang terus menyimpan rasa benci, dendam dan amarah serta rasa “ Farisi”…
Hidungnya tak sanggup merasakan aroma keharuman karna saluran telah ia sumbat dengan parfum kemunafikannya….

Tuesday 12 March 2013

Kumpulan Peremenungan

 " Culture without freedom never made a large and liberal mind"
(Budaya tanpa kebebasan tidak pernah menghasilkan pemikiran yang bebas dan liberal)


 Mill, John Stuart ( Ekonom dan Filsuf Inggris (1806-1873)
dari : Buku Sumber Peremenungan
http://www.kompasiana.com/dashboard/uran


Gallery Foto




Mata Najwa: Spesial Episode: Pemimpin Bernyali

Mata Najwa: Spesial Episode: Pemimpin Bernyali

Monday 11 March 2013

Memaknai Dolo-Dolo Bagian Ke-2


Sambungan Bagian I
Kesadaran manusia (masyarakat) sebagai satu kesatuan dalam ikatan Sosial Budaya, menggerakan setiap Pribadi untuk terus berjuang mewujudkan eksistensi Ikatan Sosial itu. Bahasa yang digunakan baik menggunakan bahasa daerah maupun bahasa Nasional, bahasa lisan dan tulisan juga bahasa dalam  bentuk symbol merupakan media komunikasi untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan. Lagu Dolo- Dolo sebagai media ekspresi dari proses komunikasi yang dimainkan secara sadar oleh masyarakat, oleh generasi tua kepada generasi muda. Kesadaran bahwa pesan nilai-nilai kehidupan ini harus diwartakan. Agar pesan ini menarik maka media lagu dan tarian menjadi pilihan strategis. Namun menjadi pertanyaan apakah kesadaran tentang makna di balik  lagu Dolo-dolo atau bentuk ekspresi komunikasi yang lainnya seperti bahasa adat sungguh-sungguh dipahami oleh setiap orang yang membawakannya maupun yang mendengarkan?
Merujuk kembali pada tataran  teori yang dikembangkan oleh Rogers,Everett  M dalam tulisan bagian pertama, bagi penulis, sangat penting mengemas media-media social dalam tataran kehidupan social budaya untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan. Interaksi yang terjadi dalam kesatuan gerakan, tarian seperti dalam  lagu dolo-dolo hendaknya didesign secara sengaja, sistimatis, tematis dan terintegrasi dalam keseluruhan tema-tema kehidupan. Bahwa irama dolo-dolo sudah digunakan dalam Liturgi menunjukkan bahwa warisan budaya merupakan nilai-nilai yang dinamis, namun hendaknya spirit dalam liturgy Sabda dan Ekaristi melalui irama dolo-dolo menjadi sumber inspirasi untuk menterjemahkan makna “Sabda Telah Menjadi Daging dan Tinggal di antara Kita”
Irama Dolo-dolo yang dibawakan secara menyentak, bersemangat merupakan ekspresi dari sikap responsive masyarakat atas situasi social, lingkungan, budaya, sikap cepat tanggap, sikap cepat “Hadir dalam Solidaritas” seperti sahutan dalam bait-bait yang dilantunkan. Sahut menyahut dalam irama dolo-dolo menunjukan bahwa  masyarakat Lamaholot mampu mengemas dan memahami pesan yang disampaikan dengan dengan bijak memberikan tanggapan.
Korelasi dalam konteks pembangunan adalah proses komunikasi yang  menumbuhkan kesadaran dalam diri anak-anak, dalam diri generasi muda akan nilai-nilai pembangunan yang berorientasi pada kearifan-kearifan local, pembangunan yang berorientasi pada proses bukan pada hasil, pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai pelaku bukan sebagai objek dari pembangunan dan pembangunan yang dijalankan dalam spirit kemitraan sebagaimana spirit saling mengandeng tangan, membentuk lingkaran dalam irama tarian Dolo-Dolo.
Eksistensi tarian Dolo-Dolo yang dibawakan secara bersama-sama, melibatkan banyak orang tanpa ada batas jumlah menegaskan bahwa keberhasilan suatu program bukan karna seseorang tetapi karna adamu, adaku dan ada kita bersama, bersama dalam satu kemitraan, satu dalam jalinan relasi secara holistic.  Pentingnya kemitraan ini ditegaskan Viona Verity bahwa:
“Community capacity building is the capabilities that exist within communities and within the networks between individuals, communities and institutions and civil society that strengthen individual and community capacity to define their own values and priorities and the ability to act on these. Community capacity has a number of dimensions including financial capacity and physical, human and social resources. (Verity, Fiona (2007). Community Capacity Building – A review of the literature. Government of South Australia 2007. Dikases pada tanggal 23 Agustus 2012 dari  http://www.sapo.org.au/pub/pub10783.html)

Bersambung di  Dolo-Dolo Dalam Konteks Dunia Pendidikan (catatan atas Kurikulum 2013)
http://www.kompasiana.com/dashboard/uran

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...