Saturday 23 March 2013

MENJAWAB KURIKULUM 2013


Menggagas Pendikan Profesi
sebagai Pilihan Strategis dalam Menterjemahkan Muatan Lokal
(Studi Kasus pada Sekolah-Sekolah SD dan SMP Kecamatan Ilebura-Kabupaten Flores Timur NTT)

Pendahuluan

Sebuah adagium dalam bahasa latin “Non Scholae Sed Vita Discimus” Kita belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup” menginspirasi penulis di awal tulisan ini, sebagai sebuah refleksi atas potret dunia pendidikan Indonesia. Landasan-landasan yang dipaparkan dalam pembukaan Undang-Undang Pendidikan Nasional 2013  yakni Landasan  Yuridis, Filosofis dan Teoritis menegaskan tentang semangat perubahaan menuju Indonesia yang lebih baik, yang harus dimulai dari dunia pendidikan. Wacana perubahan kurikulum ini menjadi polemik yang hangat dibicarakan di media massa dan menjangkau ke pelosok-pelosok Indonesia di mana akses terhadap berita sangat susah diperoleh. Akibatnya perubahaan ini membuat para guru jadi bingung, gagap dalam mengkomunikasikan secara strategis dalam rencana pembelajaran di sekolah-sekolah.

Pengalaman waktu liburan Natal tahun 2012 membuat penulis merenungkan kembali makna dan hakekat pendidikan Nasional. Dalam perdiskusian dengan para guru di wilayah Kecamatan Ileburan Kabupaten Flores Timur-NTT para guru umumnya  belum memahami tentang konteks dan konsep muatan lokal. Berbekal pengalaman mendampingi kelompok wirausaha baik di kalangan remaja maupun orang dewasa serta kegiatan-kegiatan dalam Kreativitas Bermain Anak di Jakarta melalui Yayasana Wahana Visi Indonesia,  penulis mencoba membangikan pemahaman dan perdiskusian tentang konsep kewirausahaan sebagai media awal dalam menjawab serta menterjemahkan kurikulum 2013 yakni konsep  muatan lokal.

Pendidikan Berorientasi pada Profesi dan Fokus Nilai Budaya Lokal

Pengalaman penulis ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, setiap murid wajib mengelola kebun sekolah. Pengalaman ini sungguh membekas dan menginspirasi penulis bahwa pendidikan itu adalah proses mendekatkan peserta didik pada realita, pada kebudayaan lokal, belajar mencintai budaya lokal  dan bagaimana mengelola budaya tersebut sebagai modal sosial, ekonomi dan pendidikan.  Realita menunjukan bahwa pendidikan selama ini kurang menempatkan pendidikan nilai berbasis pada warisan budaya. Output dari pendidikan seharusnya  menjadikan manusia yang mampu berpikir mandiri, bebas, berpikir fokus dan berorentasi pada pengembangan sumber daya yang dimiliki. Ini harapan sebagaima terbaca dalam spirit perubahan Kurikulum 2013 ini. Namun realita menunjukan bahwa banyak generasi mudah lebih memilih menjadi perantau di Malasya dengan keterbatasan keterampilan.  Kasus seperti ini terus mendera masyarakat NTT yang selalu diidentik dengan kemiskinan. Pilihan merantau (red bekerja dengan minimnya keterampilan)  sepertinya menjadi pilihan pragmatis dan sesaat untuk menjawab kondisi kemiskinan ini.

Bagi penulis kemiskinan yang melanda NTT bukan karna semata kondisi geografis alam tetapi karna landasan pendikan selama ini yang membuat warga NTT menjadi miskin dalam  pradigama pendidikan yakni pendidikan berorientasi pada Profesi dan Fokus Nilai. Pendidikan yang mengabaikan mereka dari rasa cinta akan warisan budaya, rasa cinta akan kekayaan alam.

 Bayak pakar bebicara dan mendefenisikan  konsep Profesi namun penulis merujuk pada konsep profesi menurut Daniel Bell (1973)  bahwa;
Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan ketrampilan teknis dan moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat[1]

Bagi penulis konsep ini sangat cocok diaplikasikan dalam penterjemahan  kurikulum Nasional tentang muatan lokal. Pemetaan yang penulis lakukan terhadap Sumber Daya dan Warisan Budaya yakni cara mengelola hidup di Kecamatan Ilebura menempatkan empat pilihan hidup yakni sebagai Petani, Nelayan, Peternak dan Penenun (tenun sarung). Empat cara hidup ini dalam pengamatan penulis dan juga hasil wawancara dengan para stakeholders[2] menunjukkan bahwa warisan hidup ini semakin ditinggalkan. Kasus anak-anak gadis membeli sarung dari wilayah lain karna tidak bisa menenun lagi membuat miris jiwa setiap putra lewotana (daerah). Kasus anak-anak yang hanya tau (mau) konsumsi nasi dari beras padi merefeleksikan terjadinya pergeseran dan kemunduran nilai-nilai budaya lokal.  Kasus tanaman Sorgum yang merupakan warisan budaya dari leluhur telah dilupakan oleh masyarakat. Banyak anak muda tidak tahu lagi tentang sorgum. Banyak petani tidak menyimpan bibit sorgum ini. Kasus para sarjana yang hanya berorientasi menjadi Pegawai Negeri Sipil menempatkan kemerdekaan cara berpikir sebagai agen  perubahan pada tataran nilai-nilai social, budaya, ekonomi, politik hanya sekedar wacana dan diskursus di masa-masa kuliah.

Untuk itu pilihan strategis pengembangan muatan lokal  harus didesign sebagai sebuah proses pendidikan profesi  sejak  di Sekolah Dasar yang berfokus pada penelitian, pengembangan sumber-sumber daya yang ada baik alam maupun sosial.  Sebagai sebuah proses penelitian dan pengembangan, maka pendekatan yang harus dilakukan didukung dengan perangkat teknologi tepat guna. Artinya dalam anggaran pendidikan yang disampaikan oleh pihak Sekolah harus secara sengaja dibuat pos khusus untuk alokasi anggaran ini dan mekanisme pengelolaan harus dikelola secara kemitraan, serta value chained.

Konsep Kemitraan berarti pengembangan muatan lokal tidak dikerjakan sendirian oleh pihak sekolah tetapi harus melibatkan semua pihak yakni masyarakat di sekitarnya, para orang tua serta lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Kearifan lokal yakni adanya kebun sekolah di wilayah Lewotobi bagi SMPK Ilebura  merupakan asset dan pintu masuk untuk proses belajar siswa menjadi orang yang pakar di bidang pertanian. Dengan demikian pekerjaan sebagai petani dapat dikategorikan sebgai Profesi Petani, juga ketiga mata pencaharian lainnya. Sedangkan konsep Value Chained adalah membangun rantai nilai.

 Satu dari sekian konsep  kerja yang ditawarkan penulis ke para guru SD dan SMPK Ileburan yakni menghasilkan Sarung yang berkualitas. Prosesnya sebagai berikut;  Desa Nurabelen di Kecamatan Ilebura, lahanya sangat cocok untuk menanam kapas dan hasil kapasnya lebih berkualitas jika dibandingkan dengan wilayah lain. Konsep Value Chained  di sini artinya, para peserta didik (SDK Nurabelen) mengambil porsi dan fokus pada proses pembibitan, penanaman serta pemeliharan kapas sehingga menghasilkan kapas yang berkualitas yang lain. Untuk proses pemintalan menjadi benang dikelola oleh SDK Riangkaha, SDK Lewouran untuk  proses pencampuran benang dengan  zat dari bahan lokal, SDK Lewotobi mengambil peran pembuatan motif dan SDK Buranilan serta Riang Baring pada proses menenun.  Dan untuk SMPK Ilebura mengambil peran pada proses mengelola sarung tenun ini menjadi aneka bentuk seperti  Jas, Tas, sarung HP, dan aneka bentuk lainnya.[3]

Setiap proses yang dijalani  harus  manage sebagai proses kreativiatas, Improvisasi dan Inovasi. Dan keseluruhan proses harus dibingkai dalam  terang nilai Etika dan Moral. Artinya uji coba dan pengembangan yang terus menerus semakin menyadarkan peserta akan tuntutan dan panggilan nurani serta pilihan profesi yang akan dia jalani. Kalau mau menjadi petani jagung yang baik, maka ada standard kualitas produk yang harus dijaga, ada standard etika yang dijunjung tinggi. Selain itu  Setiap peserta yang terlibat dalam proses ini baik secara pribadi atau kelompok wajib menghasilkan sebuah tulisan Ilmiah atas hasil temuan mereka dan dipublikasikan melalui mimbar Gereja, Mading Sekolah dan Surat Kabar Lokal juga Nasional.

Dengan mengelola mutan lokal (Mulok) sebagai sebuah pilihan strategis, sisitimatis  para peserta didik akan menjadi manusia yang mandiri dalam cara berpikir, manusia yang terus menerus mencari bentuk terbaik dalam melayani dengan mempersembahkan temuan-temuan baru yang berbasis pada warisan budaya.  Melalui rancangan pendidikan profesi, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang telah memiliki impian yang jelas, bukan impian abstrak dan mereka tau cara dan jalan menuju impian ini.

Selamat merenung dan mari kita lakukan sesuatu untuk menyelamatkan dunia pendidikan kita.


Uran, 23 Maret 2013
Pengamat Sosial, Budaya dan PendidikanSaat ini sedang kuliah dan bekerja di Jakarta


[2] Hasil Observasi selama tahun 2000- 2005 sebelum penulis ke Jakarta untuk melanjutkan studi serta pengamatan dan diskusi dengan para stakeholders selama Desember 2012- Januari 2013 waktu liburan di Kampung. Berkaitan dengan sorgum dapat dibaca di http://www.tempo.co/read/news/2012/11/12/090441238/Profesor-Sorgum-Menangis-di-Depan-Dahlan-Iskan,
http://sains.kompas.com/read/2011/12/13/03434068/Pemburu.Benih.Sorgum.Flores?. Tentang Sorgum, waktu Liburan penulis melakukan sosialisasi tentang Sorgum dan banyak petani terkejut. Namun persoalan adalah bagaimana mengelola sorgum ini menjadi tepung beras. Hasil pemetaan di Lewotobi, Ibu kota Kecamatan Ilebura,  hanya emapt  keluarga yang masih menyimpan dan menanam sorgum ini termasuk di keluarga penulis.

[3] Diskusi tentang kewirausahaan dengan para guru SD se kecamatan Ilebura dan SMPK Ilebura, Lewotobi, 07 Januari 2013.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...