Wednesday 10 April 2013

MEMAKNAI WARISAN BUDAYA PATUNG WULU DALAM REFLEKSI KEHIDUPAN MASYARAKAT LEWOTOBI


MEMAKNAI WARISAN BUDAYA
PATUNG WULU DALAM REFLEKSI KEHIDUPAN MASYARAKAT LEWOTOBI

Di belantara hutan, di lereng Gunung Api Lewotobi, sebuah peradapan menuturkan pada generasi tentang nilai-nilai kehidupan. Di dalam gua kecil, dikelilingi hutan lebat, sebuah pesan disampaikan, digemahkan “ ta’o go rae du tuke toho lolon. Susa ure wai, pana dai hoje maje....”.
Sepenggal pesan ini terus dikisahkan dalam khasana sastra yang disebut “Koda Adat”. Dari generasi ke generasi  kisah ini ditenun kembali, dibacakan kembali. Tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari upaya memaknai  Warisan Budaya ini yang bernama  “ PATUNG WULU”.

Patung Wulu, Pengertian dan Gambaran Fisik
Patung Wulu adalah patung seorang Ibu yang  sedang menenun sambil menyusui bayinya. Berdasarkan literature dalam Lensa Flores Timur, patung ini terbuat dari perunggu seberat 5 Kg. Bagi masyarakat di Lereng Gunung Api Lewotobi, Wulu adalah Dewi Hujan. Berkaitan dengan keberadaan patung ini, belum ada studi yang mendalam dari segi Arkeologi. Beberapa warisan yang masih tersimpan dan cerita tentang kerajaan Lewotobi menunjukan adanya pengaruh Hindu.
Dalam tulisan ini, penulis tidak membahas dari aspek Arkelogi namun mencoba menelusuri tenunan-tenuan nilai-nilai warisan budaya ini sebagai sebuah refleksi  kehidupan bagi generasi mudah. Refleksi yang diangkat  menyakut  tiga poin  yakni : Menyusui, Menenun dan Lingkungan Alam.


Menyusui.
Sebuah ungkapan dalam bahasa sastra  Lewotobi (baca Bahasa Adat) “ tuho dura” menegaskan tentang pentingnya menyusui balita. Kata Tuho  secara  Kata Benda artinya payudara,  juga sebagai kata kerja menyusui. Dura pun berate sama yakni menyusui. Namun ada perbedaan yang mendasar dari kata Tuho dan Dura. Tuho artinya menyusui sedangkan Dura menyusui untuk mengobati. Saat si bayi sakit, si ibu mengolesi ramuan obat-obatan di sekitar puting susunya agar saat bayi menyusui sekalian bayi mengkonsumsikan obat-obatan tersebut.
Dari dua kata ini, Tuho Dura menegaskan bahwa nenek moyang orang Lewotobi telah menyadari pentinganya Air Susu Ibu (ASI) bagi pertumbuhan anak. Pentingnya memberikan ASI kepada bayi direfleksikan dalam patung ini, yakni  “kesibukan menenun sarung tidak menghalangi ibu memberikan ASI bagi bayinya”.  Potret Ibu menenun sarung sambil menyusui bayi menegaskan bahwa anak adalah prioritas dalam kehidupan, bahwa kebutuhan akan ASI merupakan kemutlakan. Dari cara berpakaian (memakai sarung) pun menujukan tentang kepraktisan pakaian seorang ibu yang menyusui. Ujung sarung diikat (disatukan) di kedua lengan dengan “snugi” (semacam peniti yang terbuat dari bambo atau kayu yang diraut dengan ukuran kecil). Jika bayinya menangis atau saat ibu mau menyusui bayinya, si ibu langsung mencabut  snugi dan satu ujung kain terlepas, payudara ibu langsung Nampak dan si bayi pun langsung menyusui. Ibu tidak susah-susah membuka BH, atau membuka baju kaos.
Kepraktisan ini menunjukan bahwa tindakan harus cepat diambil. Prioritas kebutuhan bayi akan ASI bukan hanya  terletak saat waktu ibu untuk menyusui  bayi tetapi juga bagaimana menciptakan, menyediakan ruang dan waktu yang baik, Proses sederhana “ Lepas Snugi langsung menyusui bayi” menegaskan “ tidak boleh ada halangan bagi bayi untuk mendapatkan ASI. Potret proses  menenun juga menegaskan bahwa pekerjaan tidak  boleh menghalangi seorang ibu memberikan ASI bagi bayinya.


Menenun Sarung.
Bagi masyarakat Lewotobi, seorang gadis dikatakan  telah dewasa dan siap menikah jika dia telah menguasai dan memiliki keterampilan menenun sarung. Keterampilan yang dimaksud adalah kemampuan untuk meramu keseluruhan proses sejak pemilihan kapas yang berkualitas, cara memintal menjadi benang, cara mencampurkan dengan zat pewarna lokal, membentuk motif, menenun serta menjahit kain tenun menjadi sarung.
Menenun sarung merupakan proses transformasi, membuat sesuatu yang ada menjadi bentuk lain dan bernilai. Proses transformasi dari keterpisahan benang  menjadi satu,proses dari satu warna menuju pengakuan  keragaman motif,  proses dari kesederhanaan  menjadi keangungan saat ia melekat dan menghisai tubuh yang mengenakannya.
Seorang ibu dipercayakan Tuhan untuk Karya Kehidupan. Dalam rahim seorang ibu, Sang Khalik menenun kehidupan, dalam rahim seorang wanita, Sang Cipta menggambarkan kehidupan, dalam Palungan Kasih Sang Pencerah mengawali Kisah yang terajut dari lembaran-lembaran benang. Dan ketika manusia (bayi)  menghirup nafas kehidupan,  Ibunya, wanita  yang membagikan isi cawan bersama bayi dalam kandungan siap memulai tugas baru, mendengarkan nyanyian alam, menunjukan dunia, mengajari kehidupan bagi anaknya.
Refleksi dari patung Wulu ini, Ibu yang menyusui bayi sambil menenun merupakan potret “ cara mendidik anak”. Saat ibu menenun, menyentakan alat tenun agar benang-benang menjadi satu dan kuat, serempak ada irama yang terus menerus bergaung seperti sebuah putaran lagu.  Sentakan irama ini membantu pertumbuhan otak bayi dalam gendongan ibunya. Para wanita Yahudi saat hamil mereka wajib mendengarkan musik-musik seperti lagu Bethoven. Para Ibu di Lewotobi tidak mengenal music ini tetapi kearifan lokal telah mengajari mereka tentang hal ini meskipun banyak yang tidak sadar. Selain itu melalui proses ini, si bayi sejak dini telah diajarkan, ditanamkan rasa cinta akan sarung, dibisikan tentang perannya ketika dewasa yakni menenun kehidupan, menyatukan benang-benang, mewarnai, memberikan bentuk  dan makna dalam kehidupannya.

Bersambung....

 Satu dari sekian Ritual Memohon  Air  Hujan




Patung Wulu dalam Gua
Sumber Foto : Fiddel Mudah

Bersambung........

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...