Saturday, 23 March 2013

Untuk sebuah Keagungan antara Cinta dan Keluarga

  Untukmu,
Gadis manis ..........
hadirmu sekejap waktu torehkan sepercik aneka warna
di pigura ini, lukisan  ini belum selesai, masih ada kata
masih terselimut di balik cat warna, beraroma musim panas
berpadu garis antara musim hujan berpamit saat tanaman mulai kehausan
aku pun berhenti di pinggir jalan
menatap hiruk pikuk kehidupan, mencoba menyekah peluh
tulisanmu...
pesanmu...
diam kubaca, hiruk pikuk tak kudengar
kurasakan dukamu
kudengar tangismu

kata terselimut di pigura waktu
terbaca jelas saat ini, 
musim kemarau cukup hari ini
layukan harapanku
debu jalanan temani impian, buyar terbang
ya....

tulisan ini semakin jelas
pesanmu cukup mewakili gulatan ini
saat kita harus menarik garis batas

Aku harus pergi melukiskan  syair di bukit batu
agar anak nelayan membaca jelas saat biduknya merapat
aku harus pergi mendendangkan syair tua,
mengemakan kembali seruling petani
melukiskan kembali pilihan hidup 
dengan cara baru aku memilih jalan ini

tulisan kita hari ini berhenti
pena ini kau patahkan agar aku mencari yang lain
namun engkau lupa masih ada  potongan pisau
kurajut kembali, cukup tajam untuk menulis

tapi aku hanya diam
Diammu kepakkan sayap patah
terluka...aku diam
menatap tulisan
membaca tulisanmu
menyusuri lorong waktu kita
saat jumpa, saat tangismu saat tawamu

Dahagaku semakin gerogoti jiwaku
kuusap peluhku menakar rasa pahit dan tawar
setawar jiwa sunyi..sejenak kulupakan dahaga
kubiarkan jiwaku rasakan pahit ini
rasakan dukamu
rasakan sepihmu

peluhku bercampur litani
engkau pergi karna  kita beda
engkau diam untuk menutup hati
pesan ibumu jelas terbaca
" biarkan ia memilih jalannya
Orang yang pulang kampung adalah orang yang kalah dalam pertarungan di kota"

ya...
kita berbeda
aku rindu menulis syair di bukit batu
jiwaku terpanggil membacakan puisi-pusi tua yang telah lama hilang

akan tiba waktunya aku akan kembali
menjadi petani di desaku
berharap engkau temani aku
mungkin suatu saat aku menjadi kepala desa
engkau menjadi ibu desa bagaikan syair puisi Rendra

Pesan ibumu jelas
aku tersanjung dengan pujiannya
karna aku kalah untuk kemuliaan
untuk keagungan warisan budaya kami

Aku tak menyesal mencintaimu, pesanmu
kata ini pun sama kupesan lewat kepak malam ini...


di sini, di tempat kita pernah bersama
kutuliskan namamu
sekali lagi
kusebut namamu
sekali lagi
lagi
semoga esok pagi ada jawaban darimu....

untukmu yang tercinta....

23 Maret 2013


No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...