Menggagas Pendikan Profesi
sebagai Pilihan Strategis dalam Menterjemahkan Muatan Lokal
(Studi Kasus pada
Sekolah-Sekolah SD dan SMP Kecamatan Ilebura-Kabupaten Flores Timur NTT)
Pendahuluan
Sebuah adagium dalam
bahasa latin “Non Scholae Sed Vita Discimus” Kita belajar bukan untuk sekolah
tapi untuk hidup” menginspirasi penulis di awal tulisan ini, sebagai sebuah
refleksi atas potret dunia pendidikan Indonesia. Landasan-landasan yang
dipaparkan dalam pembukaan Undang-Undang Pendidikan Nasional 2013 yakni Landasan
Yuridis, Filosofis dan Teoritis menegaskan tentang semangat perubahaan
menuju Indonesia yang lebih baik, yang harus dimulai dari dunia pendidikan.
Wacana perubahan kurikulum ini menjadi polemik yang hangat dibicarakan di media
massa dan menjangkau ke pelosok-pelosok Indonesia di mana akses terhadap berita
sangat susah diperoleh. Akibatnya perubahaan ini membuat para guru jadi
bingung, gagap dalam mengkomunikasikan secara strategis dalam rencana
pembelajaran di sekolah-sekolah.
Pengalaman waktu
liburan Natal tahun 2012 membuat penulis merenungkan kembali makna dan hakekat
pendidikan Nasional. Dalam perdiskusian dengan para guru di wilayah Kecamatan
Ileburan Kabupaten Flores Timur-NTT para guru umumnya belum memahami tentang konteks dan konsep
muatan lokal. Berbekal pengalaman mendampingi kelompok wirausaha baik di kalangan
remaja maupun orang dewasa serta kegiatan-kegiatan dalam Kreativitas Bermain
Anak di Jakarta melalui Yayasana Wahana Visi Indonesia, penulis mencoba membangikan pemahaman dan
perdiskusian tentang konsep kewirausahaan sebagai media awal dalam menjawab
serta menterjemahkan kurikulum 2013 yakni konsep muatan lokal.
Pendidikan
Berorientasi pada Profesi dan Fokus Nilai Budaya Lokal
Pengalaman penulis
ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, setiap murid wajib mengelola kebun
sekolah. Pengalaman ini sungguh membekas dan menginspirasi penulis bahwa
pendidikan itu adalah proses mendekatkan peserta didik pada realita, pada
kebudayaan lokal, belajar mencintai budaya lokal dan bagaimana mengelola budaya tersebut
sebagai modal sosial, ekonomi dan pendidikan. Realita menunjukan bahwa pendidikan selama ini
kurang menempatkan pendidikan nilai berbasis pada warisan budaya. Output dari
pendidikan seharusnya menjadikan manusia
yang mampu berpikir mandiri, bebas, berpikir fokus dan berorentasi pada
pengembangan sumber daya yang dimiliki. Ini harapan sebagaima terbaca dalam
spirit perubahan Kurikulum 2013 ini. Namun realita menunjukan bahwa banyak
generasi mudah lebih memilih menjadi perantau di Malasya dengan keterbatasan
keterampilan. Kasus seperti ini terus
mendera masyarakat NTT yang selalu diidentik dengan kemiskinan. Pilihan
merantau (red bekerja dengan minimnya keterampilan) sepertinya menjadi pilihan pragmatis dan
sesaat untuk menjawab kondisi kemiskinan ini.
Bagi penulis kemiskinan
yang melanda NTT bukan karna semata kondisi geografis alam tetapi karna landasan
pendikan selama ini yang membuat warga NTT menjadi miskin dalam pradigama pendidikan yakni pendidikan
berorientasi pada Profesi dan Fokus Nilai. Pendidikan yang mengabaikan mereka
dari rasa cinta akan warisan budaya, rasa cinta akan kekayaan alam.
Bayak pakar bebicara dan mendefenisikan konsep Profesi namun penulis merujuk pada konsep
profesi menurut Daniel Bell (1973) bahwa;
“Profesi adalah aktivitas intelektual
yang dipelajari termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun
tidak formal dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok / badan
yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat,
menggunakan etika layanan profesi dengan mengimplikasikan kompetensi
mencetuskan ide, kewenangan ketrampilan teknis dan moral serta bahwa perawat
mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat”[1]
Bagi penulis konsep
ini sangat cocok diaplikasikan dalam penterjemahan kurikulum Nasional tentang muatan lokal.
Pemetaan yang penulis lakukan terhadap Sumber Daya dan Warisan Budaya yakni
cara mengelola hidup di Kecamatan Ilebura menempatkan empat pilihan hidup yakni
sebagai Petani, Nelayan, Peternak dan Penenun (tenun sarung). Empat cara hidup
ini dalam pengamatan penulis dan juga hasil wawancara dengan para stakeholders[2]
menunjukkan bahwa warisan hidup ini semakin ditinggalkan. Kasus anak-anak gadis
membeli sarung dari wilayah lain karna tidak bisa menenun lagi membuat miris
jiwa setiap putra lewotana (daerah). Kasus anak-anak yang hanya tau (mau)
konsumsi nasi dari beras padi merefeleksikan terjadinya pergeseran dan
kemunduran nilai-nilai budaya lokal. Kasus tanaman Sorgum yang merupakan warisan
budaya dari leluhur telah dilupakan oleh masyarakat. Banyak anak muda tidak
tahu lagi tentang sorgum. Banyak petani tidak menyimpan bibit sorgum ini. Kasus
para sarjana yang hanya berorientasi menjadi Pegawai Negeri Sipil menempatkan
kemerdekaan cara berpikir sebagai agen perubahan pada tataran nilai-nilai social,
budaya, ekonomi, politik hanya sekedar wacana dan diskursus di masa-masa
kuliah.
Untuk itu pilihan
strategis pengembangan muatan lokal
harus didesign sebagai sebuah proses pendidikan profesi sejak
di Sekolah Dasar yang berfokus pada penelitian, pengembangan sumber-sumber
daya yang ada baik alam maupun sosial. Sebagai
sebuah proses penelitian dan pengembangan, maka pendekatan yang harus dilakukan
didukung dengan perangkat teknologi tepat guna. Artinya dalam anggaran
pendidikan yang disampaikan oleh pihak Sekolah harus secara sengaja dibuat pos
khusus untuk alokasi anggaran ini dan mekanisme pengelolaan harus dikelola
secara kemitraan, serta value chained.
Konsep Kemitraan berarti pengembangan muatan lokal
tidak dikerjakan sendirian oleh pihak sekolah tetapi harus melibatkan semua
pihak yakni masyarakat di sekitarnya, para orang tua serta lembaga-lembaga
penelitian dan perguruan tinggi. Kearifan lokal yakni adanya kebun sekolah di
wilayah Lewotobi bagi SMPK Ilebura
merupakan asset dan pintu masuk untuk proses belajar siswa menjadi orang
yang pakar di bidang pertanian. Dengan demikian pekerjaan sebagai petani dapat
dikategorikan sebgai Profesi Petani, juga ketiga mata pencaharian lainnya. Sedangkan
konsep Value Chained adalah membangun rantai nilai.
Satu dari
sekian konsep kerja yang ditawarkan
penulis ke para guru SD dan SMPK Ileburan yakni menghasilkan Sarung yang
berkualitas. Prosesnya sebagai berikut; Desa
Nurabelen di Kecamatan Ilebura, lahanya sangat cocok untuk menanam kapas dan
hasil kapasnya lebih berkualitas jika dibandingkan dengan wilayah lain. Konsep
Value Chained di sini artinya, para peserta
didik (SDK Nurabelen) mengambil porsi dan fokus pada proses pembibitan,
penanaman serta pemeliharan kapas sehingga menghasilkan kapas yang berkualitas
yang lain. Untuk proses pemintalan menjadi benang dikelola oleh SDK Riangkaha,
SDK Lewouran untuk proses pencampuran
benang dengan zat dari bahan lokal, SDK Lewotobi
mengambil peran pembuatan motif dan SDK Buranilan serta Riang Baring pada
proses menenun. Dan untuk SMPK Ilebura
mengambil peran pada proses mengelola sarung tenun ini menjadi aneka bentuk seperti
Jas, Tas, sarung HP, dan aneka bentuk
lainnya.[3]
Setiap proses yang dijalani harus manage
sebagai proses kreativiatas, Improvisasi dan Inovasi. Dan keseluruhan proses
harus dibingkai dalam terang nilai Etika
dan Moral. Artinya uji coba dan pengembangan yang terus menerus semakin
menyadarkan peserta akan tuntutan dan panggilan nurani serta pilihan profesi
yang akan dia jalani. Kalau mau menjadi petani jagung yang baik, maka ada
standard kualitas produk yang harus dijaga, ada standard etika yang dijunjung
tinggi. Selain itu Setiap peserta yang
terlibat dalam proses ini baik secara pribadi atau kelompok wajib menghasilkan
sebuah tulisan Ilmiah atas hasil temuan mereka dan dipublikasikan melalui
mimbar Gereja, Mading Sekolah dan Surat Kabar Lokal juga Nasional.
Dengan mengelola mutan lokal (Mulok) sebagai sebuah pilihan strategis, sisitimatis para peserta didik akan menjadi manusia yang
mandiri dalam cara berpikir, manusia yang terus menerus mencari bentuk terbaik
dalam melayani dengan mempersembahkan temuan-temuan baru yang berbasis pada
warisan budaya. Melalui rancangan
pendidikan profesi, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang telah memiliki
impian yang jelas, bukan impian abstrak dan mereka tau cara dan jalan menuju
impian ini.
Selamat
merenung dan mari kita lakukan sesuatu untuk menyelamatkan dunia pendidikan
kita.
Uran,
23 Maret 2013
Pengamat
Sosial, Budaya dan PendidikanSaat ini sedang kuliah dan bekerja di Jakarta
[1] http://carapedia.com/pengertian_definisi_profesi_info2177.diakses
tanggal 24 Maret 2013.
[2] Hasil
Observasi selama tahun 2000- 2005 sebelum penulis ke Jakarta untuk melanjutkan
studi serta pengamatan dan diskusi dengan para stakeholders selama Desember
2012- Januari 2013 waktu liburan di Kampung. Berkaitan dengan sorgum dapat
dibaca di http://www.tempo.co/read/news/2012/11/12/090441238/Profesor-Sorgum-Menangis-di-Depan-Dahlan-Iskan,
http://sains.kompas.com/read/2011/12/13/03434068/Pemburu.Benih.Sorgum.Flores?.
Tentang Sorgum, waktu Liburan penulis melakukan sosialisasi tentang Sorgum dan
banyak petani terkejut. Namun persoalan adalah bagaimana mengelola sorgum ini
menjadi tepung beras. Hasil pemetaan di Lewotobi, Ibu kota Kecamatan Ilebura, hanya emapt keluarga yang masih menyimpan dan menanam
sorgum ini termasuk di keluarga penulis.
[3] Diskusi tentang
kewirausahaan dengan para guru SD se kecamatan Ilebura dan SMPK Ilebura,
Lewotobi, 07 Januari 2013.
No comments:
Post a Comment