MEMAKNAI
WARISAN BUDAYA
PATUNG
WULU DALAM REFLEKSI KEHIDUPAN MASYARAKAT LEWOTOBI
Di belantara
hutan, di lereng Gunung Api Lewotobi, sebuah peradapan menuturkan pada generasi
tentang nilai-nilai kehidupan. Di dalam gua kecil, dikelilingi hutan lebat,
sebuah pesan disampaikan, digemahkan “ ta’o
go rae du tuke toho lolon. Susa ure wai, pana dai hoje maje....”.
Sepenggal
pesan ini terus dikisahkan dalam khasana sastra yang disebut “Koda Adat”. Dari
generasi ke generasi kisah ini ditenun
kembali, dibacakan kembali. Tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari upaya
memaknai Warisan Budaya ini yang bernama “ PATUNG
WULU”.
Patung Wulu, Pengertian dan Gambaran
Fisik
Patung
Wulu adalah patung seorang Ibu yang
sedang menenun sambil menyusui bayinya. Berdasarkan literature dalam
Lensa Flores Timur, patung ini terbuat dari perunggu seberat 5 Kg. Bagi
masyarakat di Lereng Gunung Api Lewotobi, Wulu adalah Dewi Hujan. Berkaitan dengan
keberadaan patung ini, belum ada studi yang mendalam dari segi Arkeologi. Beberapa
warisan yang masih tersimpan dan cerita tentang kerajaan Lewotobi menunjukan
adanya pengaruh Hindu.
Dalam
tulisan ini, penulis tidak membahas dari aspek Arkelogi namun mencoba
menelusuri tenunan-tenuan nilai-nilai warisan budaya ini sebagai sebuah
refleksi kehidupan bagi generasi mudah.
Refleksi yang diangkat menyakut tiga poin
yakni : Menyusui, Menenun dan Lingkungan Alam.
Menyusui.
Sebuah
ungkapan dalam bahasa sastra Lewotobi (baca
Bahasa Adat) “ tuho dura” menegaskan tentang
pentingnya menyusui balita. Kata Tuho
secara Kata Benda artinya payudara,
juga sebagai kata kerja menyusui. Dura
pun berate sama yakni menyusui. Namun ada perbedaan yang mendasar dari kata
Tuho dan Dura. Tuho artinya menyusui sedangkan Dura menyusui untuk mengobati.
Saat si bayi sakit, si ibu mengolesi ramuan obat-obatan di sekitar puting susunya
agar saat bayi menyusui sekalian bayi mengkonsumsikan obat-obatan tersebut.
Dari
dua kata ini, Tuho Dura menegaskan bahwa nenek moyang orang Lewotobi telah
menyadari pentinganya Air Susu Ibu (ASI) bagi pertumbuhan anak. Pentingnya memberikan
ASI kepada bayi direfleksikan dalam patung ini, yakni “kesibukan menenun sarung tidak menghalangi ibu
memberikan ASI bagi bayinya”. Potret Ibu menenun sarung sambil menyusui bayi
menegaskan bahwa anak adalah prioritas dalam kehidupan, bahwa kebutuhan akan
ASI merupakan kemutlakan. Dari cara berpakaian (memakai sarung) pun menujukan
tentang kepraktisan pakaian seorang ibu yang menyusui. Ujung sarung diikat
(disatukan) di kedua lengan dengan “snugi”
(semacam peniti yang terbuat dari bambo atau kayu yang diraut dengan ukuran
kecil). Jika bayinya menangis atau saat ibu mau menyusui bayinya, si ibu
langsung mencabut snugi dan satu ujung kain terlepas, payudara ibu langsung Nampak dan
si bayi pun langsung menyusui. Ibu tidak susah-susah membuka BH, atau membuka
baju kaos.
Kepraktisan
ini menunjukan bahwa tindakan harus cepat diambil. Prioritas kebutuhan bayi
akan ASI bukan hanya terletak saat waktu
ibu untuk menyusui bayi tetapi juga
bagaimana menciptakan, menyediakan ruang dan waktu yang baik, Proses sederhana “
Lepas Snugi langsung menyusui bayi” menegaskan
“ tidak boleh ada halangan bagi bayi untuk mendapatkan ASI. Potret proses menenun juga menegaskan bahwa pekerjaan tidak boleh menghalangi seorang ibu memberikan ASI
bagi bayinya.
Menenun Sarung.
Bagi
masyarakat Lewotobi, seorang gadis dikatakan
telah dewasa dan siap menikah jika dia telah menguasai dan memiliki
keterampilan menenun sarung. Keterampilan yang dimaksud adalah kemampuan untuk
meramu keseluruhan proses sejak pemilihan kapas yang berkualitas, cara memintal
menjadi benang, cara mencampurkan dengan zat pewarna lokal, membentuk motif,
menenun serta menjahit kain tenun menjadi sarung.
Menenun
sarung merupakan proses transformasi, membuat sesuatu yang ada menjadi bentuk
lain dan bernilai. Proses transformasi dari keterpisahan benang menjadi satu,proses dari satu warna menuju
pengakuan keragaman motif, proses dari kesederhanaan menjadi keangungan saat ia melekat dan menghisai
tubuh yang mengenakannya.
Seorang
ibu dipercayakan Tuhan untuk Karya Kehidupan. Dalam rahim seorang ibu, Sang
Khalik menenun kehidupan, dalam rahim seorang wanita, Sang Cipta menggambarkan
kehidupan, dalam Palungan Kasih Sang Pencerah mengawali Kisah yang terajut dari
lembaran-lembaran benang. Dan ketika manusia (bayi) menghirup nafas kehidupan, Ibunya, wanita yang membagikan isi cawan bersama bayi dalam
kandungan siap memulai tugas baru, mendengarkan nyanyian alam, menunjukan
dunia, mengajari kehidupan bagi anaknya.
Refleksi
dari patung Wulu ini, Ibu yang menyusui bayi sambil menenun merupakan potret “
cara mendidik anak”. Saat ibu menenun, menyentakan alat tenun agar
benang-benang menjadi satu dan kuat, serempak ada irama yang terus menerus
bergaung seperti sebuah putaran lagu. Sentakan
irama ini membantu pertumbuhan otak bayi dalam gendongan ibunya. Para wanita
Yahudi saat hamil mereka wajib mendengarkan musik-musik seperti lagu Bethoven.
Para Ibu di Lewotobi tidak mengenal music ini tetapi kearifan lokal telah
mengajari mereka tentang hal ini meskipun banyak yang tidak sadar. Selain itu
melalui proses ini, si bayi sejak dini telah diajarkan, ditanamkan rasa cinta
akan sarung, dibisikan tentang perannya ketika dewasa yakni menenun kehidupan,
menyatukan benang-benang, mewarnai, memberikan bentuk dan makna dalam kehidupannya.
Bersambung....
Satu dari sekian Ritual Memohon Air Hujan
Patung Wulu dalam Gua
Sumber Foto : Fiddel Mudah
Bersambung........
No comments:
Post a Comment